Senin, 22 Agustus 2011

Partai SRI : " KITA TIDAK MENJUAL KUCING DALAM KARUNG "


JAKARTA, KOMPAS.comNama mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kembali mengemuka belakangan ini. Sebuah partai baru yang asosiatif dengan namanya, Serikat Rakyat Independen, mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rabu (3/8/2011) pekan lalu. Terang benderang, Partai SRI mengusung Sri Mulyani menjadi calon presiden dalam Pemilu 2014 mendatang.

Sejumlah tokoh ternama yang selama ini enggan berpartai turun gunung menggagas Partai SRI. Ada pengacara senior Todung Mulya Lubis; pengamat politik Arbi Sanit; aktivis era 1966, Rahman Tolleng; wartawan senior Fikri Jukrie; Dana Iswara; dan dosen Filsafat Universitas Indonesia, Rocky Gerung

" Kami tidak menjual kucing dalam karung, " ujar Rocky yang menjadi anggota Majelis Pertimbangan Partai.


Banyak kalangan berpendapat, jalan Sri Mulyani tidak akan mulus. Kasus Century dan cap neoliberal akan menjadi peluru yang akan terus dimuntahkan lawan-lawan politiknya. Tak sedikit pula yang pesimisis dengan partai baru ini. Biaya politik di Indonesia mahal. Cukupkah pundi-pundi partai membiayai jaringan di daerah ? Selain itu, sejauh mana partai baru ini berhasil membangun kadernya di daerah ?

Namun, pertanyaan pentingnya, apakah betul Sri Mulyani bersedia maju dalam Pemilu 2014 nanti? Sejauh mana hubungan Partai SRI dan Sri Mulyani ? 
Berikut wawancara Kompas.com dengan Rocky Gerung di Kantor Dewan Pimpinan Nasional Partai Sri di Jalanl Latuharhary Nomor 16, Menteng, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Di publik Sri Mulyani enggan berkomentar karena terikat kode etik, tapi kepada para penggagas Partai secara personal apakah dia pernah menyatakan bersedia dicalonkan ?
Itu urusan di internal partai. Itu adalah bagian dari strategi politik partai. Biar menjadi misteri, karena kalau saya jawab sekaligus, nanti orang akan dapat membaca strategi kita. 
Tapi yang jelas begini, ada kesejajaran antara gagasan Sri Mulyani tentang etika publik yang pernah dia kuliahkan sebelum dia pergi dengan ide dasar pembentukan partai ini. Yang ditunggu kan sebetulnya hanya pernyataan resmi dari Sri Mulyani saja. Kita tinggal tunggu saja.
Jadi, sebenarnya dengan tutup mata saja kita tahu, pasti dia bersedia. Tidak ada alasan untuk tidak bersedia. Tetapi, itu kan tidak bisa diucapkan sekarang karena belum ada semacam jaminan politik. 

Apa Sri Mulyani ikut terlibat langsung menggagas partai, seperti Susilo Bambang Yudhoyono dengan partai Demokrat-nya ?
Tidak. Kalau dikaitkan dengan SBY jelas berbeda. SBY ingin full circle di dalam urusan itu. Kalau kita cuma bilang Sri Mulyani adalah benchmark, batas, dan tolok ukur dari politik Indonesia. Kalau ada orang lain yang bisa melewati tolok ukur itu kita pasti akan ganti simbol Sri Mulyani. 

Kenapa mencalonkan Sri Mulyani ?
Orang pertama yang memastikan politik itu harus tidak menganut conflict of interest ya Sri Mulyani. Orang pertama yang dengan nekat menolak kolaborasi politik yang dituntut oleh pengusaha-pengusaha besar ya Sri Mulyani.
Orang pertama yang menyatakan bahwa etika saya adalah integritas, karena itu saya ingin Bank Dunia mengikuti etika saya, adalah Sri Mulyani. Orang pertama yang dikenal di seluruh dunia mengatur seratus dua puluh lima negara miskin adalah Sri Mulyani. 
Jadi bandingannya apa gitu loh ? Ada bandingannya ? Enggak ada bandingannya saya kira.
Dari segi kecerdasan, ya pasti. Dari segi penguasaan manajemen makro ekonomi, nasional, global, ya itu sudah menjadi keahlian dia. 

Bagaimana menghadapi serangan “ Century ” dan cap “ Neolib ” ?
Saya akan terangkan dulu soal neo-liberal ( neolib ). Neolib artinya kepemimpinan yang anti pajak. Sri Mulyani mengumpulkan pajak untuk subsidi masyarakat bawah. Masak hal seperti itu dikatakan neolib ? Ini kan terbalik jalan pikiran kita. 
Satu hal penting juga, Sri Mulyani adalah orang pertama yang memaksa beberapa departemen untuk membuat anggaran berdasarkan prinsip gender responsive budget, artinya anggaran departemen hanya turun kalau di dalamnya ada semacam ukuran anggaran akan dipakai untuk memungkinkan perempuan diuntungkan dalam pembuatan kebijakan. Kita tahu posisi perempuan di bawah kaum proletar dalam strata sosial. Dia (perempuan) kelompok yang paling miskin, dan paling tertindas.
Jadi, Sri Mulyani memihak kelompok yang paling tertindas melalui kebijakan. Tetapi mungkin tidak terlihat, karena pada akhirnya kebijakan itu akan turun di APBD. Dan untuk menjalankan APBD itu merupakan fungsi dari partai.

SOAL  CENTURY  ?
Kasus ini memang akan menjadi senjata bagi lawan politik nantinya. Kita tidak ada strategi. Karena, kita tahu pada saatnya senjata atau ganjalan itu akan diangkat sendiri oleh yang mengganjal, karena dalam permainan politik ganjalan itu bisa memukul si pengganjal.
Apalagi Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mengatakan tidak ada unsur pidana dalam kasus ini. Namun, yang jadi permasalahan, KPK sudah bilang seperti itu ( tidak ditemukan unsur pidana ), tetapi DPR bilang harus ada kejahatan ( pidana ). Pernyataan DPR soal Century itu kan keputusan politik. Nyatanya, KPK tidak menemukan delik pidananya.
Jadi, kita sama sekali tidak khawatir. Kita justru mendorong kalau berhasil menemukan unsur kejahatan pidana dalam kasus ini bawa saja ke pengadilan, biar semua jelas. Maka, kalau ada serangan soal Century, jelas itu hanya serangan politik untuk membuat stigma negatif kepada Sri Mulyani. 
Kasus Bank Century mulai merebak akhir 2009. DPR membentuk Pansus Angket Kasus Bank Century dengan memanggil pihak-pihak terkait, termasuk Wakil Presiden Boediono dan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan saat itu. 


Sri Mulyani, yang pernah menjabat Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dalam rekomendasi Pansus Angket Kasus Bank Century disebut sebagai salah satu pejabat yang patut bertanggungjawab. Hasil rekomendasi pansus menyebutkan, ditemukan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang dan korupsi dalam pengucuran dana penyelamatan bank milik Robert Tantular itu. 

Namun, meski telah memeriksa 96 saksi, hasil penyelidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, belum menunjukan indikasi tindak pidana dalam kasus pengucuran uang negara sebesar Rp 6,7 triliun tersebut.

Sejumlah individu yang tergabung dalam Partai Sri mengajukan uji materi soal Undang-undang Parpol meminta perubahan syarat pendirian parpol. Sepertinya, Partai SRI mengalami kesulitan membangun jaringan di seluruh Indonesia ?

Memang tidak ada sumber dana. Karena kalau kita hitung untuk membuat partai dibutuhkan lebih kurang Rp 400 miliar. Itu artinya hanya orang kaya yang bisa bikin partai. Bahkan koruptor pun tidak bisa bikin partai kalau jumlahnya segitu banyak. 
Nah, hal itu melanggar hak orang buat bikin partai. Karena hak itu, tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki karena sudah komitmen kepada demokrasi. 
Sekarang politik itu sudah sangat mahal. Oleh karena itu, money politic akan terus berlangsung. Sebab siapa yang punya uang, dia menguasai kekuasaan. Nah, itu yang kita minta di review kembali oleh Mahkamah Konstitusi.
Para pendukung Partai SRI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konsitusi pada 15 Juni 2011 lalu terkait syarat pendirian partai politik, sekaligus ketentuan mengenai verifikasi parpol sebagai badan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. 
Para penggugat berpendapat, Pasal 2 Ayat (1) memberatkan partai-partai baru. Ketentuan itu mengatur, parpol harus didirikan minimal oleh 30 orang di setiap provinsi dan harus didaftarkan oleh minimal 50 orang. Pasal 3 Ayat (2) mengatur tentang syarat verifikasi menjadi partai berbadan hukum, antara lain harus memiliki kepengurusan di 33 provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan di seluruh Indonesia.
Mahkamah Konstitusi menilai ketentuan tersebut tidak melanggar hak konstitusional warga negara untuk memajukan diri secara kolektif, berserikat, dan lainnya.

Lalu, sumber dana Partai SRI dari mana ?
Swadaya. Ada iuran anggota. Ada simpatisan. Di beberapa daerah, ada banyak orang yang berinisiatif membantu dan membangun jaringan partai. Sosok Sri Mulyani melahirkan militansi. 
Kita juga punya kesepakatan kalau terlibat dalam politik, kita harus berani membiayai diri sendiri. Contoh yang paling konkret adalah kita berkomitmen memangkas penghasilan kita ( pengurus pusat ), antara 30 sampai 50 persen selama enam bulan ini untuk membiayai partai.
Anda pernah aktif di Perhimpunan Indonesia Baru ( PIB ) pimpinan almarhum Sjahrir. Demikian pula, Daminaus Taufan ( Ketua Umum Partai SRI ) pernah menjadi Wakil Sekjen Partai Indonesia Baru. Partai itu gagal. Lalu, apa yang bisa meyakinkan masyarakat kalau partai ini layak dipilih dan akan berhasil?
Ya, karena kegagalan dulu itu. Kita penasaran kenapa gagal. Orang bilang karena kita tidak punya dana, ya memang betul dari dulu kita kurang dalam hal dana. Tetapi kalau kita berhenti karena kita gagal, artinya kita terima pandangan, bahwa hanya yang punya uang yang boleh bikin partai. Nah, pandangan ini yang mau kita lawan.

Partai ini baru. Belum punya massa. Sedang berjuang membangun jaringan. Dipimpin oleh tokoh yang pernah bergabung di partai yang gagal. Berarti keunggulan partai ini cuma menjual sosok Sri Mulyani saja?
Tidak. Sri Mulyani seorang figur di partai ini. Tapi di belakang itu ada gagasan dan ide, seperti etika publik, gagasan tentang republikanisme, dan gagasan tentang partisipasi aktif warga negara yang biasanya hanya cuma diminta dan diimbau saja. Itu yang kita unggulkan. Karena kita tahu pikiran Sri Mulyani, maka kita terjemahkan untuk platform partai.
Yang dijual memang semestinya tokoh. Tetapi, yang harus dicermati adalah kita menjual barang yang tidak menipu kan ? Karena itu dari awal kita edarkan partai ini mengusung Sri Mulyani. Silakan pilih, dia bagus atau tidak. Kalau beberapa pihak mengatakan dia korupsi, kita terangkan kalau dia tidak melakukan itu. Justru dia membuat kebijakan untuk mencegah Indonesia jatuh dalam krisis ekonomi. 
Kalau kebijakannya salah ? Mungkin saja salah. Tetapi apakah dia korupsi? Tidak, karena dia orang yang berani ambil tindakan saat kritis. Kalau Sri Mulyani tidak berani ambil kebijakan saat itu, mungkin sekarang kita seperti Yunani. Dalam pemikirannya, Bank Century merupakan rumah besar yang sedang kebakaran, dan harus segera dipadamkan agar tidak merembet ke rumah yang lain.
Sri Mulyani dinilai banyak orang hampir sama seperti sosok Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, yang namanya melambung ketika teraniaya. Menurut Anda ?
Tidak. Sri Mulyani melambung bukan karena teraniaya. Kita tidak mengambil sudut pandang seperti itu. Yang kita ambil adalah sudut pandang keberanian dia untuk menyatakan tidak kepada kolusi kepentingan. Belum pernah ada orang seperti itu di Indonesia. Dia ambil risiko, dengan bilang oke saya mundur yang penting saya tidak didikte. Dengan cara itu dia bilang kalau dirinya tidak teraniaya bahkan justru dia katakan menang.

Partai ini seperti mengkultuskan Sri Mulyani...
Kultus itu artinya kita tidak tahu siapa dia, asal usulnya, apa isi otaknya, tetapi kita puja dia. Kalau sekarang ini kita tahu persis otaknya, mentalnya, dan keberanian Sri Mulyani mengambil keputusan, dan merawat republik ini. Itu semua rasional dan bisa terukur. Kultus tidak bisa diukur. Kultus juga memihak tanpa kalkulasi rasional. Kalau kita tetap memihak dalam kalkulasi rasional.
Ini kan masih 2011, tetapi dari awal kita bilang kalau kita akan memilih dia (Sri Mulyani). Dan, masyarakat akan melihat kalau kita tidak menjual kucing dalam karung lagi. Bandingkan misalnya, banyak partai besar, punya pemilih besar, tapi entah siapa tokohnya. Kalau ada, tokoh itu harus membersihkan dirinya dari berbagai dosa di masa lalu.  Sri Mulyani secara jelas kita sebut, walaupun memang akan terganjal di kasus Century. Tapi, kita akan cari keadilan itu.


** ♥ ♥ ♥ ♥ ♥ **

Minggu, 21 Agustus 2011

TERNYATA “ NEOLIB “ YANG SESUNGGUHNYA ADALAH “ BAKRIE “


Sumber : Twitnya Benny Handoko  http://twitter.com/#!/benhan 7 Juni 2011 


Soal Newmont menarik sekali ngototnya Pemda dan DPRD utk caplok saham divestasi  PT. Newmont Nusa Tenggara. Mau langgar pasal 33.
Menurut Kontrak Karya Newmont dg Pemerintah, PT.NNT yg dimiliki mayoritas asing mesti divestasi 31% sahamnya selama 2006-2010.  NAmun PT. Newmont Nusa Tenggara itu gagal  ( atau sengaja tidak ) melakukan divestasi selama 5 tahun tsb. http://bit.ly/jmB2Qk
Pemerintah RI pun menggugat Newmont, menang di pengadilan. Newmont harus divestasi 31% sahamnya. 10% saham awal dibeli MDB.
MDB=joint venture Multicapital (Bakrie Group) dan Pemda. Proporsi sahamnya 75% Multicapital 25% Pemda. Dapat 10% saham Newmont. Artinya dari 10% saham yg didivestasi, Bakrie dapat 7,5% dan Pemda 2,5%. Divestasi berikutnya 14% diincar Pemerintah Pusat.
Bahkan BUMN juga ditawarkan untuk akuisisi 14% saham Newmont tsb. Antam, Timah, Bukit Asam sempat bahas http://bit.ly/jeYrEu. Pemerintah Pusat susah payah menangkan pengadilan arbitrase soal divestasi saham Newmont, layak akuisisi http://bit.ly/iJOSZK
Akuisisi Newmont  juga sesuai dg pasal 33 UUD'45, BUMI dan kekayaan alam.. dikuasai negara. Sri Mulyani coba laksanakan itu.   Sri Mulyani yang sering dicap antek-neolib oleh   " kritikus2 ", malah mau menjalankan pasal 33 UUD'45 yg sama sekali tidak neolib. #newmont.  Sri Mulyani usahakan Pemerintah RI beli saham 14 % Newmont tsb, dpt tentangan di dalam, terutama dari grup Bakrie yg jg incar saham itu.
Dept ESDM kemudian coba melibatkan BUMN, Antam utk ikut dalam akuisisi 14 % saham tsb. Opsinya: kongsi dengan MDB. Antam akhirnya mundur.  Pada akhirnya MDB yg terdiri dari 75 % Bakrie, 25 % Pemda berhasil akuisisi 24 % saham Newmont. Lengkapi 10 % saham pertama jadi 24 %.  Ini beritanya dari Majalah Tambang thn 2009: Akhirnya, 14 % Saham Newmont Jatuh Ke Bakrie http://bit.ly/lUJHvX 
November 2009 Bakrie melalui MDB berhasil menguasai 24% saham Newmont. Nov 2009 pula inisiasi angket Century. Kebetulan  ?  Firdaus Ilyas (ICW) sejak 2009 sdh khawatirkan kemungkinan saham Newmont digadaikan Bakrie dan dibeli asing http://bit.ly/kh4YKz
Yg main di pertambangan pasti tahu Newmont=holy grail Bakrie. Ia ingin jadikan Newmont spt BUMI. Emas &tembaga lengkapi batubara
Sri Mulyani adalah " kerikil" bagi Bakrie dlm muluskan rencananya akuisisi tambang2 besar. Yang kemudian digoreng & dijual ke asing. Terbukti dgn                              " digoyangnya "  Sri Mulyani lewat Century,  Bakrie berhasil akuisisi tambahan 14 % saham Newmont lewat  kerjasama dg Pemda.
Kembali ke laptop :  terbukti kekhawatiran Ilyas ICW thn 2009.  Bakrie ternyata gadaikan saham Newmont ke Credit Suisse Singapore.
Seperti modus biasanya dlm akuisisi perusahaan2, Bakrie tak punya fresh money. Ngutang keluar negeri untuk akuisisi.
Hal yg sama dilakukan MDB ( Bakrie ) dlm hal Newmont. Untuk beli saham 24% tsb, ngutang keluar negeri, yg digadai saham yg dibeli
Akibat dari gadai saham ke asing tsb, MDB tak dapat bagikan dividen. Pemda yg masuk kongsi itu ga bisa cicip dividen, ketipu ?  Sehingga hasil kekayaan alam Newmont yg tadinya diincar Pemda utk bagi2 ke rakyat Sumbawa, malah dipakai utk bayar bunga utang.

Dari Kontan : Saham Newmont digadai ( Bakrie), daerah tak cicipi dividen http://bit.ly/k702pm.   Padahal dividen saham 24% MDB tersebut kira2 30 juta USD (Rp 250M). 25% bisa masuk kas Pemda. Raib utk bayar utang ke Singapore.
Tak berhenti di situ, Bakrie kembali incar 7% sisa saham terakhir divestasi Newmont. Kali ini pakai jasa proxy Bakrie di Senayan.   Yang dimaksud proxy Bakrie tsb=anggota DPR Fraksi Golkar, yg siap menuruti perintah big boss setiap saat. Seperti kasus Century.
Agus Marto, pengganti SMI ternyata tak kalah galak dari SMI. Ia bersikeras Pemerintah RI harus miliki 7% saham Newmont sisa tsb.  Argumen Agus Marto: Pemerintah bisa raup dividen USD 485,3 Juta dari Newmont dg miliki 7 %  saham http://bit.ly/mH79Li
Mana lebih untung : saham 7 % itu dikuasai pemerintah RI, atau oleh Bakrie yg dividennya pasti dipakainya bayar utang ke S'pore ?  Argumen Pemda yg ngotot saham 7 % itu: utk jadi pemegang saham mayoritas. Lupa mereka cuma punya 25 % di MDB, 75 % milik Bakrie.
Dengan dikuasainya 7% saham Newmont oleh Pemerintah RI, maka bs halangi Newmont bernasib seperti BUMI, yg dijual Bakrie ke asing.  DPR sudah mengancam Menkeu Agus Marto akan minta BPK audit investigasi soal pembelian saham Newmont 7% oleh Pemerintah RI. 
Jasa BPK dipakai DPR ini bukan hal baru. Hal yg sama terjadi di kasus Century.  Audit BPK jadi " kitab suci " Pansus DPR.

Namun Agus Marto tidak takut, ia malah berkata : Saya berhenti kalo BPK temukan hal janggal dlm akuisisi ini http://bit.ly/konJ5nKeberanian Agus Marto dlm hadapi DPR yg proxy-nya Bakrie patut dipuji. Juga niatnya berhenti kalo " digoyang " spt Sri Mulyani.
SBY " menyerah " saat 14 % saham Newmont akhirnya jatuh ke Bakrie, bertentangan dgn niat Menkeunya SMI. Kita lihat sikapnya skrg soal 7 % itu.  DPR yg tentang Pemerintah jalankan pasal 33 UUD'45 ( beli saham Newmont ),malah pro Bakrie yg gadai saham ke asing = DPR neolib ?
Sekian twit saya soal #newmont, #Bakrie, dan #DPRneolib. Silakan baca dari awal supaya jernih. Juga baca link2-nya yg saya twit.
Tambahan : selain Newmont, Pemerintah RI lewat Menkeu skrg juga sdg menggebrak: 40 % saham perusahaan tambang asing harus dilepas ke publik.

Gebrakan ini bagus, artinya rakyat dapat ikut memiliki saham perusahaan2 tambang yg notabene profitnya besar. Nasionalisasi tanpa paksaan.
Bahwa Newmont mesti divestasi stlh puluhan tahun menggarap tambang emas dan tembaga di Sumbawa juga itu bagus. Pasal 33, national interest. 
Bahwa Newmont mesti dikuasai pemerintah pusat dan tidak dimonopoli daerah jg benar. Karena kita NKRI. APBD daerah diatur lewat pusat
Tdk tepat upaya PEMDA ngotot kuasai mayoritas saham Newmont ketika ia hanya minoritas dlm kongsi dg Bakrie ( 25-75 ). Apalagi digadai ke asing
Jadi kalo kita benar2 anti neoliberalisme, mestinya dukung tindakan Menkeu Agus Marto yg bersikeras akuisisi saham Newmont, kep nasional. 
Langkah2 anggota DPR Fraksi Golkar yg ngotot saham Newmont dikuasai MDB, berarti mendukung upaya gadaikan aset bangsa ke asing. 
Kalo soal Bakrie neolib/tidak, nasionalis/tidak ya silakan Anda simpulkan sendiri setelah memahami kasus Newmont ini...
Btw Newmont adalah perusahaan tambang emas terbesar kedua di Indonesia ( tambang Batu Hijau ), setelah Freeport ( tambang Grasberg )
Lucu kalo kita ribut2 soal Freeport, tapi diam soal Newmont ini. Padahal harapan kita kuasai Newmont >>> Freeport. 
Btw metode akuisisi saham perusahaan dg utang yg kemudian dibebankan ke perusahaan bukan hal asing, Glazers beli MU dg cara itu. *smirk* 
Baru jadi Ketum parpol dah gadaikan tambang emas ke luar negeri... Tinggal nunggu waktu negeri ini digadaikan seluruhnya. #nasionalisme
Satu pertanyaan u/ aktivis2 anti utang LN : mengapa Bakrie ngutang ke Credit Suisse Singapore utk beli saham Newmont, bukan bank dlm negeri ?
Satu pertanyaan utk aktivis2 anti-neolib : mengapa Bakrie tukar guling saham BUMI dg Vallar, perusahaan asing, bukan dg BUMN ? 

Tanya jawab : 

Jelas Menkeu yg kelola aset negara RT @C_A_C_A_D: @benhan bang, fungsi pengelolaan aset boleh ada di kemenkeu yah?
Ouch RT @LisraSukur : bakrie itu sangat nasionalis. masalahnya kita ga tau kebangsaan dia apa. sepertinya perusahaannya itu bangsanya dia.
@sukmasyukur @febridiansyah betul, intinya Bakrie Group beli saham Newmont dengan modal dengkul. Begitu singkatnya.
Betul, Glazers, juga Bakrie hanya dg modal dengkul bisa beli saham perusahaan. Selamat datang neoliberalisme. @Gembel_98

Komentar : 

gm_gm goenawan mohamad
Dari pemaparan @benhan: MenKeu Sri Mulyani dan Agus Martowardoyo ternyata pertahankan pasal 33 UUD dari serangan bisnis besar - lewat DPR.

Artikel seputar Saham Newmont yang digadaikan :
1. http://www.detikfinance.com/read/2011/06/06/083815/1653679/4/saham-newmont-digadaikan-dprd-sumbawa-barat-merasa-tertipu


*** ♥♥♥♥ ***

Jeffry Winter : " OLIGARKI SEHARUSNYA TUNDUK KEPADA HUKUM "


Demokrasi di Indonesia bisa berjalan tanpa penegakan hukum jika sistem politik tetap dikuasai oligarki atau kelompok kecil yang bisa berkuasa karena uang dan kekayaannya. Pemilihan Umum Presiden Tahun 2014 seharusnya bisa memberikan ruang kepada calon non-oligarki untuk ikut bertarung sehingga sistem politik diharapkan dapat membuat oligarki tunduk pada hukum.

Guru Besar Ilmu Politik dari Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat,  “ Jeffrey Winter “ mengatakan hal itu dalam kuliah umum di Rumah Integritas, Jakarta, Jumat (3/6) malam. Ia mengatakan, saat ini sistem politik Indonesia dikuasai oligarki, yang tak tunduk pada hukum.

Dia mengatakan, kesempatan mengubah sistem politik yang dikuasai oligarki bisa dilakukan saat pemilihan presiden. ” Namun, saat ini sistem politik di Indonesia hanya bisa memunculkan orang untuk jadi calon presiden melalui partai politik. Itu berarti distorsi oligarki ditingkatkan secara pasti. Figur yang naik dari institusi partai harus jadi oligarki dulu mengingat saat ini politik uang yang menentukan dalam satu partai,” ujarnya.
Kondisi demikian, Jeffrey melanjutkan, akan sulit untuk memunculkan figur yang sebenarnya diinginkan rakyat dan memiliki integritas untuk membawa Indonesia jadi negara demokratis sekaligus bisa membawa seluruh rakyat tunduk pada hukum. ” Saya tak terlalu optimistis jika tak ada perubahan konstitusi yang memungkinkan seseorang tanpa melalui partai bisa maju menjadi calon presiden, ”  katanya.
Menurut Jeffrey, kekuasan oligarki dalam sistem politik di Indonesia yang membuat negara ini bisa menerapkan konsep demokratis, tetapi minus penegakan hukum. Hukum hanya bisa menjangkau orang miskin tanpa akses terhadap sumber daya ekonomi dan tak bisa menundukkan mereka yang kaya serta berkuasa secara politik.

Oligarki, kata Jeffrey, berbeda dengan elite. Dari masa Plato dan Aristoteles sampai munculnya teori elite pada 1895, konsep oligarki selalu berupa kelompok kecil orang yang berkuasa karena punya uang. Oligarki muncul karena adanya stratifikasi kekayaan. Fenomena stratifikasi kekayaan mulai muncul secara kentara sejak Soeharto berkuasa, ketika dia membagikan kesempatan usaha dan investasi kepada sekelompok pengusaha tertentu.
Jeffrey tidak menjamin, jika konstitusi memberikan kesempatan bagi calon non partai maju menjadi calon presiden dan menang pada pemilu, kondisi penguasaan oligarki dalam sistem politik berubah. ” Memang tidak ada jaminan 100 persen. Namun dengan memberikan kesempatan kepada calon non-oligarki untuk bertarung, ada peluang untuk mengubah kondisi sistem politik sekarang ini, ”  katanya.

Aktivis mahasiswa tahun 1966, Rahman Tolleng, mengatakan, sebenarnya masih ada oligarki di Indonesia yang mau tunduk pada sistem hukum. Mereka diistilahkan Oligarki Putih.  Mereka mau sistem politik seperti sekarang ini berubah.



*** ♥♥♥♥ ***

SRI MULYANI BISA JADI KUDA HITAM.. by : Hermawan Sulistyo ( LIPI )



 JAKARTA, KOMPAS.comJika sebagian kalangan menilai pencalonan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai presiden oleh Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) bakal terganjal oleh skandal Bank Century, tidak demikian halnya menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Hermawan Sulistyo.
Sri Mulyani juga perlu membumi karena terlalu jauh dari realitas.
-- Hermawan Sulistyo --


Menurut Kiki, panggilan akrab Hermawan, skandal tersebut justru bisa menjadi titik balik Sri Mulyani meraih dukungan publik. Sebaliknya, kata dia, kubu Aburizal Bakrie dari Partai Golkar yang dikabarkan menjadi seteru Sri Mulyani malah bisa terganjal oleh masalah Lumpur Lapindo.
Menurut Kiki, jika Bank Mutiara, bank yang bertransformasi dari Bank Century, bisa menjadi bank yang cukup bagus dan likuid di kemudian hari, bukan tak mungkin keputusan bail out (pemberian dana talangan) terhadap Bank Century dibenarkan.
" Sri Mulyani malah bisa jadi kuda hitam , terutama bila Bank Mutiara bisa berkinerja baik. Sebab, artinya keputusan bail out itu sudah benar ", kata Kiki saat menghadiri “Peringatan Delapan Tahun Tragedi Bom Marriot " di Jakarta, Jumat (5/8/2011).
Sri Mulyani, menurut Kiki, bisa jadi sosok alternatif. " Kalau dalam dua tahun dia bisa lepaskan imej Century itu, dan Bank Mutiara prestasinya bagus, itu bisa digunakan untuk counter isu. Sri Mulyani juga perlu membumi karena terlalu jauh dari realitas. Orang bilang imejnya pro asing, liberalisasi, dan segala macam. Itu isu kelas menengah, di bawah orang hanya tampilan, sosok. Mereka bisa makan atau enggak. Kalau dia belum bisa kasih kerjaan, tetapi bisa beri harapan sama rakyat suatu saat bakal bisa memberi pekerjaan, dan Sri Mulyani kalau bisa ambil celah ini, dia bisa jadi kuda hitam, "  tutur Kiki.
Justru Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie ( Ical )  yang memiliki sumber daya ekonomi tak terbatas dan jaringan kuat Partai Golkar, menurut Kiki, malah bakal terhadang oleh masalah Lumpur Lapindo. " Meski Ical punya sumber daya ekonomi tak terbatas dan jaringan sangat kuat, tetapi dia punya ganjalan dalam masalah Lumpur Lapindo, "  kata Kiki.
Menurut Kiki, massa mengambang yang menjadi pemilih populer di Indonesia lebih dari 50 persen jumlahnya. Sementara mereka cenderung berharap pemimpin yang tegas dan berkarakter.
Pertarungan imej antar calon presiden ini diprediksi Kiki bakal menguat selama dua tahun ke depan. Apakah berarti Century cukup bisa menjadi ganjalan Sri Mulyani, ataukah Lumpur Lapindo yang bakal menghadang Ical? Bisa dilihat pada tahun 2014 nanti.

*** ♥♥♥ ***

BERLOMBA MENAWARKAN CALON PRESIDEN. ( Oleh : Ikrar Nusa Bhakti * )

Pemilihan umum masih tiga tahun lagi, namun partai-partai politik sudah mulai mengelus-elus siapa yang akan mereka jagokan. Partai Golkar misalnya sudah mulai menawarkan nama ketua umum,Aburizal Bakrie, sebagai bakal calon presiden yang diusung partai berlambang beringin itu. Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ), meski belum secara resmi mengumumkan siapa bakal calon presiden, ada kadernya yang sudah menyebut Menkopolhukam Marsekal TNI ( Purn ) Djoko Suyanto sebagai bakal calon yang diusung PKS. Ada Hatta Rajasa yang akan didukung Partai Amanat Nasional, Wiranto yang didukung Hanura, Prabowo Subianto yang didukung Gerindra,atau Puan Maharani yang didukung oleh PDIP. Nama lain yang juga sering disebut ialah Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD sebagai bakal calon presiden yang cukup memiliki prospek.  Sampai saat ini belum ada partai yang secara resmi mendukung Mahfud MD. Namun, bukan mustahil ia akan disandingkan oleh Partai Demokrat dengan Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo yang kini Kepala Staf TNI AD. Sampai kini belum juga tertutup kemungkinan Partai Demokrat akan mengusung Ibu Negara Kristiani Yudhoyono sebagai bakal calon presiden walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas telah mengenyampingkan kemungkinan tersebut. Bisa saja PDIP dan Partai Demokrat melakukan ” rekonsiliasi politik” dengan menyandingkan Pramono Edhie Wibowo dan Puan Maharani sebagai capres dan cawapres, atau dua besan saling bersanding secara politik yaitu antara Hatta Rajasa dan Kristiani Yudhoyono.   

Di luar nama-nama itu, ada satu nama yang kini semakin berkibar, yakni mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang diusung oleh kelompok intelektual yang baru saja mendaftarkan partainya, Partai Serikat Rakyat Independen ( Partai SRI ). Banyak kalangan yang belum apa-apa sudah memandang remeh kemungkinan pencalonan Sri Mulyani yang biasa dipanggil Ani. Pasalnya, Partai SRI masih berjuang untuk lolos kualifikasi sebagai partai politik. Selain itu, Sri Mulyani juga masih belum terbebas dari kasus bailout Bank Century. Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) sendiri hingga kini masih dalam posisi bahwa tidak ada tanda-tanda kriminalitas yang dilakukan baik oleh mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono maupun mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Semua calon presiden tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.Sebagian besar kelompok menengah ke atas di Indonesia juga sudah mengetahui rekam jejak para bakal calon presiden tersebut. Pembentukan partai baru, semisal Partai SRI, Partai Nasional Demokrat, atau lainnya, memang bukan sesuatu yang baru di republik ini.   

Orang sering mempertanyakan mengapa masih ada orang membikin partai di tengah semakin rendahnya citra partai politik di mata masyarakat. Orang juga sering mencemooh bahwa partai-partai baru itu hanyalah mainan para politisi lama yang berpindah dari partai lain atau gagal di partai sebelumnya.   

Namun, dalam kasus Partai SRI tampaknya agak berbeda. Partai ini didirikan oleh gabungan dari kalangan intelektual kampus, praktisi hukum, pemilik media, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang resah dengan situasi politik di negeri ini. Mereka memang kelompok elite yang masih memiliki keinginan untuk membangun negeri ini.  Jika dilihat dari latar belakang mereka, dari segi ekonomi, para pendiri Partai SRI sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang sudah mapan dan bukan orang yang akan mencari makan dengan mendirikan partai. Seperti dikatakan anggota Dewan Pertimbangan Partai SRI, Arbi Sanit, rekrutmen calon pengurus partai pada tingkat pusat dan daerah benar-benar dilakukan secara ketat. Sebagian besar pendiri atau pendukung Partai SRI adalah kalangan pengajar di Universitas Indonesia atau alumninya. Mereka berasal dari kelompok ideologi yang beragam, ada yang sosialis kanan ( soska ) atau garis Partai Sosialis Indonesia ( PSI ) Sutan Syahrir, ada yang liberal demokrat, ada pula yang Soekarnois. Makanya agak sulit jika mereka semua dikatakan sebagai golongan neoliberal ( neolib ). 

Sri Mulyani yang mereka dukung sebagai bakal calon presiden juga sulit dikatakan sebagai neolib murni,karena dalam pemikirannya juga tersimpul pemikiran mengenai pentingnya negara dalam mengatur ekonomi nasional. Sri juga berasal dari kalangan keluarga yang secara ideologis juga dekat dengan nasionalismenya Bung Karno, khususnya PNI.

Isu yang berkembang untuk mendiskreditkan Sri Mulyani bukan saja terkait dengan soal Bank Century atau segala yang terkait dengan pajak, melainkan juga bahwa ia akan menjadi kaki tangan Amerika Serikat ( AS ). Pesan singkat yang beredar melalui ponsel antara lain menyatakan sesuatu yang absurd antara lain Sri Mulyani akan didukung AS dan ada dealdeal politiknya jika ia terpilih. Padahal, Sri Mulyani pastinya akan memiliki ketegasan untuk mengatakan tidak kepada AS karena dia bukan pengusaha dan bukan orang yang posisinya bergantung negara itu.  Bahkan bukan mustahil ia akan lebih berani daripada Jenderal Besar Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mau didikte oleh AS dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.   Pemahamannya di bidang moneter sebagai mantan direktur kawasan Asia-Pasifik di International Monetary Fund ( IMF ) dan kini sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia tentu membuatnya tahu persis bagaimana menentukan posisi Indonesia vis-à-vis IMF dan Bank Dunia.   

Sri tentunya juga tidak akan munafik untuk mengatakan apakah IMF atau Bank Dunia diperlukan atau tidak oleh Indonesia, seperti elite politik yang selalu menyatakan anti-IMF padahal ketika ia menjadi menteri dulu ia pernah meminta bantuan IMF untuk Indonesia.    Seperti kebanyakan kalangan intelektual, tentunya ada titik lemah, tapi sekaligus kekuatan Sri Mulyani. Misalnya, seorang intelektual karena otoritas keilmuannya biasanya memiliki kesombongan intelektual dan merasa lebih tahu ketimbang orang lain. Intelektual juga selalu berpikir dan bertindak lurus sesuai etika keilmuannya.   Ini berbeda dengan kalangan politisi yang bisa berzig-zag dalam pikiran dan tindakan politiknya.

Jika kita membaca tulisan Sri Mulyani mengenai transisi politik dan ekonomi di Indonesia, tampak jelas dia adalah bakal calon presiden yang paling memiliki keduanya, yaitu kemampuan akademik sebagai seorang intelektual kampus dan pengalamannya di pemerintahan. Sri juga bukan futurolog yang suka tebar pesona dan bicara mengenai masa depan ekonomi Indonesia, tapi tidak berpijak di bumi seperti penguasa Indonesia saat ini. Artikel Sri Mulyani paling akhir yang dimuat media massa dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa ia bukan seorang ekonom yang menggunakan kacamata kuda, melainkan seorang ekonom yang juga tahu mengenai situasi politik internasional kini dan masa depan. Pastinya akan banyak kalangan yang ingin menghadang Sri Mulyani.  Semua terpulang pada apakah para pemilih Indonesia pada 2014 mendatang benar-benar semakin dewasa dalam memilih sehingga tidak salah dalam memilih presiden ataukah politik uang dan manipulasi pencitraan politik akan mengalahkan akal sehat pemilih.  

 *) IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI. Sumber: Harian Seputar Indonesia, Tuesday, 09 August 2011. Link: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/419343/ See More


*** ___ ***

Rocky Gerung : " MERAWAT REPUBLIK, MENGAKTIFKAN AKAL SEHAT "


Pemikiran bapak Rocky Gerung ini perlu kita pelajari, karena partai Sri adalah partai yg memiliki ideologi yg kuat, dalam artikel ini Bpk Rocky Gerung menuangkan sedikit pemikiran tentang apa yg di sebut Republikanisme, tapi ingat Ideologi partai Sri adalah Republikanisme yg berbingkai Pancasila, jadi intinya ini adalah artikel atau bahan pelajaran, agar kita bisa bertanya lebih banyak kepada Bapak Rocky Gerung sebagai murid.


I.     INDONESIA    HARI-HARI  INI...

Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral. Ada anak muda memetik dawai mengelilingi dunia mengukir prestasi.
Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh. Ada pelajar menggondol medali biologi di pentas dunia berkali-kali.
Ada lumpur pebisnis dibersihkan negara dengan pajak rakyat. Ada perempuan desa menembus bukit menyalurkan air bersih dengan tangannya sendiri.
Ada koruptor diusung partai jadi pahlawan. Ada relawan bergegas ke medan bencana tanpa menyewa wartawan.
Kita seperti hidup dalam dua Republik: Republic of Fear dan Republic of Hope. Akal sehat kita tentu menghendaki perwujudan Republic of Hope itu, secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.  Tetapi nampaknya,  penguasa politik lebih memilih memelihara Republic of Fear, karena di situlah statistik Pemilu dipertaruhkan. Kemajemukan hanya diucapkan di dalam pidato, selebihnya adalah tukar-tambah kepentingan yang diatur para broker. Hak Asasi Manusia dipromosikan ke mancanegara, tetapi kejahatan kemanusiaan di dalam negeri, diputihkan untuk modal Pemilu. Toleransi dihimbaukan ke seluruh rakyat, tetapi ketegasan tidak hendak dilaksanakan. Mengapung diatas bara sosial itu, sambil membayangkan siasat politik suksesi, adalah agenda harian elit politik hari-hari ini. 
Politik tidak diselenggarakan di ruang publik, tetapi ditransaksikan secara personal. Tukar tambah kekuasaan berlangsung bukan atas dasar kalkulasi ideologis, tetapi semata-mata karena oportunisme individual. Di layar nasional, politik elit tampil dalam bentuknya yang paling dangkal: jual-beli di tempat! Tidak ada sedikitpun upaya "sofistikasi" untuk sekedar memperlihatkan sifat "elitis" dari percaloan politik itu. Dengan wajah standar, para koruptor menatap kamera, karena yakin bahwa putusan hakim dapat dibatalkan oleh kekuasaan, bila menolak ditukar saham. Dan sang hakim (juga jaksa dan polisi) memang mengkondisikan sebuah keputusan yang transaksional. Kepentingan bertemu kepentingan, keinginan bersua kebutuhan. 
Di layar lokal, politik bahkan sudah diresmikan sebagai urusan "uang tunai". Seorang calon  kepala daerah sudah mengijonkan proyek-proyek  APBD kepada para pemodal, bahkan sebelum ia mencalonkan diri dalam Pilkada.  Struktur APBD daerah umumnya condong membengkak pada sisi pegeluaran rutin pejabat dan birokrasi ketimbang pada sisi pengeluaran pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.

Maka sangat mudah memahami bahwa " human development index " kita tetap rendah karena biaya renovasi kamar mandi bupati lebih didahulukan  ketimbang membangun puskesmas.  Bahkan antisipasi terhadap kemungkinan sang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, juga sudah dipikirkan. Maka berbondong-bondonglah para kepala daerah bermasalah itu hijrah dari partai asalnya, masuk ke partai penguasa. Tentu itu bukan transfer politik gratisan. Tadah-menadah politik sudah menjadi subkultur politik nasional. Sekali lagi: kepentingan bertemu kepentingan, kemauan bersua kebutuhan.
Dalam perjanjian konstitusional negara dengan warganegara, keadilan dan keamanan dijadikan agunan untuk menetapkan kewajiban timbal balik. Karena itu, bila saudara membayar pajak, maka saudara berhak memperoleh sistem politik yang memungkinkan keadilan itu diwujudkan. Bila saya patuh pada hukum, maka saya berhak menerima rasa aman dari negara. Tetapi urusan inilah yang kini amat jauh dari harapan publik. Para perusak hukum justeru dilindungi negara. Para pengemplang pajak, justeru dirangkul negara. Dan dalam urusan sistem politik, kita berhadapan dengan persekongkolan politik kartel yang memonopoli distribusi sumber daya politik dan ekonomi. Bahkan oligarki kekuasaan yang sesungguhnya,  hanya melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling menyogok, saling tergantung, dan saling mengintai. Politik menjadi kegiatan personal dari segelintir elit yang terjebak dalam skenario yang saling mengunci, karena masing-masing terlibat dalam persekutuan pasar gelap kekuasaan pada waktu Pemilu. 
Ketergantungan politik pada uang-lah yang menerangkan persekongkolan itu. Pertaruhan ini tidak ada hubungannya dengan politik ideologi, karena relasi personal telah menyelesaikan persaingan ideologi. Relasi itu tumbuh karena pelembagaan politik tidak berlangsung. Artinya, sistem kepartaian modern dan sistem parlemen kita tidak tumbuh di dalam kebutuhan untuk membudayakan demokrasi, tetapi lebih karena kepentingan elitis individual. Pemahaman tentang dalil-dalil bernegara tidak diajarkan di dalam partai politik. Etika publik bukan merupakan prinsip politik parlemen. Bahwa seolah-olah ada kesibukan mengurus rakyat, itu hanya tampil dalam upaya mempertahankan kursi politik individual, dan bukan karena kesadaran untuk memberi pendidikan politik pada rakyat. Parlemen adalah kebun bunga rakyat, tetapi rakyat lebih melihatnya sebagai sarang ular. Tanpa gagasan, minim pengetahuan, parlemen terus menjadi sasaran olok-olok publik. Tetapi tanpa peduli, minim etika, parlemen terus menjalankan dua pekerjaan utamanya: korupsi dan arogansi.
Defisit akal di parlemen adalah sebab dari defisit etika. Arogansi kepejabatan digunakan untuk menutupi defisit akal. Maka berlangsunglah fenomena ini: sang politisi yang sebelumnya menjadi pengemis suara rakyat pada waktu Pemilu, kini menyatakan diri sebagai pemilik kedaulatan. Seperti anjing yang menggonggongi tuannya, politisi memutus hubungan historisnya dengan rakyat, dan mulai berpikir menjadi pengemis baru. Kali ini, bukan pada rakyat, tetapi pada kekuasaan eksekutif. Faktor inilah yang menerangkan mengapa oposisi tidak dapat bekerja dalam sistem politik kita. Tukar tambah kepentingan antara eksekutif dan legislatif bahkan berlangsung sampai urusan "titik dan koma" suatu rancangan undang-undang. Transaksi itu sering tidak ada kaitannya dengan soal-soal ideologis, karena memang motif koruptiflah yang bekerja di bawah meja-meja sidang.
Asal-usul politik koruptif ini terkait dengan tidak adanya kurikulum "kewarganegaraan" dalam semua jenjang pendidikan nasional. Sistem pendidikan kita tidak mengorientasikan murid pada kehidupan publik. Konsep "masyarakat" di dalam kurikulum sekolah tidak diajarkan sebagai "tanggung jawab merawat hidup bersama", tetapi lebih sebagai kumpulan ajaran moral komunal yang pertanggungjawabannya diberikan nanti di akhirat. Konsep "etika publik" tidak diajarkan sebagai keutamaan kehidupan "bermasyarakat". 



Memang, amandemen konstitusi tentang tujuan pendidikan nasional bahkan lebih mengutamakan pendidikan "akhlak" ketimbang "akal". Konsekwensinya terhadap kehidupan Republik sangatlah berbahaya, karena warganegara tidak dibiasakan sejak dini untuk secara terbuka berargumen.  Sangatlah bertentangan misi pendidikan itu dengan imperatif konstitusi kita yang mewajibkan kita "melihat dunia " melalui "kecerdasan" dan "perdamaian ".  Sesungguhnya filsafat publik kita semakin merosot menjadi pandangan sempit dan picik, karena pertarungan kecerdasan di parlemen di dalam membela ide masyarakat bebas tidak dapat berlangsung. Pengetahuan dan pemahaman konseptual tentang ide Republik lebih banyak diucapkan dalam retorika          " nasionalisme  ", dan karena itu kedudukan primer konsep " warganegara" tidak cukup dipahami.
" Kewarganegaraan"  adalah ide tentang tanggung jawab warganegara lintas politik, lintas komunal. Realisasinya memerlukan pemahaman fundamental tentang etika parlementarian, yaitu bahwa "kedaulatan rakyat" tidak pernah diberikan pada "wakil rakyat". Yang diberikan hanyalah kepentingan rakyat tentang satu isu yang secara spesifik didelegasikan pada "si wakil", dan karena itu dapat ditarik kembali setiap lima tahun. Juga dalam tema ini kita pahami bahwa "kedaulatan rakyat" tidak sama dengan "mayoritarianisme". Kedaulatan rakyat justeru difungsikan untuk mencegah demokrasi menjadi permainan politik golongan mayoritas. Itulah sebabnya kedaulatan rakyat tidak boleh dikuantifikasi dalam statistik atau dalam hasil Pemilu.
Defisit politik warganegara juga adalah akibat dari surplus politik feodal. Hari-hari ini hegemoni kultur politik feodal itu masuk dalam politik publik melalui langgam perpolitikan istana,  ketika "kesantunan" menyisihkan "kritisisme". Dan kultur itu terpancar penuh dari bahasa tubuh Presiden. Prinsip yang berlaku adalah: kritik politik tidak boleh membuat kuping Presiden menjadi merah. 

Feodalisme adalah sistem kekuasaan. Kita tentu tidak menemukannya lagi dalam masyarakat modern. Tetapi seorang penguasa dapat terus mengimajinasikan dirinya sebagai "raja", "tuan", "pembesar" dan sejenisnya, dan dengan kekuasaan itu ia menyelenggarakan pemerintahan. Kita justeru merasakan itu dalam kepemimpinan politik hari-hari ini, dalam diskursus bahasa tubuh, dalam idiom-idiom tatakrama, dalam simbol-simbol mistik, bahkan dalam politik angka keramat.
Di dalam kultur feodalistik, percakapan politik tidak mungkin berlangsung demokratis. Bukan saja karena ada hirarki kebenaran di dalam diskursus, tetapi bahkan diskursus itu sendiri harus menyesuaikan diri dengan "aturan politik feodal", aturan yang tak terlihat namun berkekuasaan. Sangatlah aneh bila kita berupaya menyelenggarakan sebuah birokrasi yang rasional dan impersonal, tetapi mental politik yang mengalir dalam instalasi birokrasi kita masih mental feodal. 
Konsolidasi demokrasi memang sudah tertinggal oleh akumulasi kekuasaan. Enersi yang pernah  kita himpun untuk menghentikan otoritarianisme, tidak lagi cukup untuk menggerakkan perubahan. Sebagian disebabkan oleh sifat politik reformasi yang amat " toleran ",  sehingga memungkinkan seorang jenderal pelanggar HAM duduk berdebat semeja dengan seorang aktivis HAM, mengevaluasi kondisi demokrasi.  Juga tidak aneh menyaksikan seorang tokoh terpidana korupsi menjadi narasumber sebuah talkshow yang membahas arah pembangunan nasional. Transisi yang amat toleran itu telah  meloloskan juga obsesi-obsesi politik komunalistik yang hendak mengatur ruang politik publik dengan hukum-hukum teokrasi. Di dalam keserbabolehan itulah kekuasaan politik hari-hari ini menarik keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi berdiri di atas politik uang dan politik ayat, kekuasaan itu kini tampak mulai kehilangan keseimbangan. Antara tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu tampak kelelahan untuk bertahan.


II.    TETAPI  REPUBLIK  TETAP  HARUS  BERDIRI...


Republik adalah ide minimal untuk menyelenggarakan keadilan, kesetaraan dan kemajemukan. Normativitas ini menuntut pekerjaan politik, pada dua lapis. Pertama, suatu imajinasi intelektual untuk merawat konsep "publik" pada kondisi sekulernya. Kedua, suatu perlawanan politik terhadap teokratisasi institusi-institusi publik. Artinya, ide republik hanya dapat terselenggara di dalam suatu usaha intelektual yang berkelanjutan, yaitu usaha mempertahankan kondisi perdebatan politik pada dataran duniawi, sosiologis dan historis. Usaha ini bukan dimaksudkan untuk meyakinkan kaum absolutis, melainkan untuk membantu mereka yang ragu-ragu karena kekurangan alat kalkulasi logis. Mereka yang " ragu-ragu " inilah sesungguhnya yang dapat "membiarkan" demokrasi dikuasai dan dikendalikan oleh politik absolutis. Golongan "ragu-ragu" ini bukan saja mengalami kecemasan di dalam membayangkan suatu masyarakat sekuler, tetapi juga tergoda membayangkan suatu "keuntungan moral" di dalam suatu politik teokratis. Gangguan akal sehat semacam inilah yang secara cepat dimanfaatkan oleh politik fundamentalisme untuk menebar hegemoni moral mayoritas. 
Menerangkan politik sebagai urusan warganegara, sekaligus berarti mempertahankan argumen masyarakat sekuler. Di dalam Republik, status primer seseorang adalah sebagai warganegara (citizen). Ia tentu memiliki sejumlah status privat: agama, etnis, dll. Tetapi status privat tidak mungkin diajukan untuk mendukung argumentasi publik. Republik hanya berurusan dengan argumentasi publik. Keyakinan agama warganegara misalnya, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat diperalat untuk menjamin isi keyakinan itu. Negara hanya menjamin hak berkeyakinan itu, sebagai hak warganegara. Dan sebagai hak, setiap orang bebas mendeskripsikan preferensi religiusnya, sekaligus bebas untuk tidak menggunakannya. Kandungan moral agama bukan urusan negara. Tetapi bila kandungan itu melahirkan kriminalitas, maka negara menghukum atas dasar hukum publik, dan bukan melarang isi keyakinan itu. Batas itu harus dipegang secara teguh sebagai prinsip pendidikan politik publik. Dan prinsip itu harus diterangkan sejak dini pada murid sekolah, dipastikan dipahami oleh anggota partai politik, dan dijadikan diktum pejabat publik. Dengan cara itu kita tidak perlu lagi mendengar pejabat publik mengucapkan kebodohan karena memaksakan pandangan moral pribadinya terhadap soal publik. Di sini sekaligus perlu kita ingatkan bahwa para menteri adalah pembantu Presiden, dan bukan asisten Tuhan. 
Keragu-raguan untuk menerima dan menjalankan konsekwensi politik dari ide Republik, terutama disebabkan oleh kepentingan politisasi kekuasaan terhadap kondisi antropologis bangsa ini. Bagaimanapun, simbol-simbol primordial tidak mungkin punah hanya oleh gerak ekonomi global, modernisasi dan kosmopolitanisme. Politik identitas telah menjadi reaksi logis dari kosmopolitanisme, tetapi pemanfaatan politiknyalah yang menjadi isu utama di negeri ini. Artinya, kondisi atropologis kita yang masih kuat berbasis pada paham-paham komunal, juteru dieksploitasi oleh kekuasaan untuk diperjualbelikan di dalam pasar politik. Maka sangatlah ironis ketika kita mengucapkan demokrasi sebagai pilihan sistem politik, pada saat yang sama kita sudah berencana memenangkan pemilu dengan peralatan-peralatan primordial, terutama agama.
Di dalam Republik, kita menyelenggarakan pluralisme. Artinya, kita bukan sekedar mengakui perbedaan pandangan hidup, tapi kita sendiri juga dapat berobah  pandangan hidup. Dalam pluralisme, kita tidak menyebut kebenaran itu "relatif", melainkan "tentatif". Karena itu selalu terbuka kesempatan untuk berselisih pendapat, agar kita bisa bercakap-cakap. 
Kewarganegaraan adalah percakapan diantara mereka yang tidak fanatik. Republik adalah lokasi politik yang menampung semua proposal sekuler. Di sini kita harus pahami ide Republik bukan semata-mata sebagai instalasi politik teknis, tetapi sebagai struktur percakapan etis. Di dalam Republik, " suasana " percakapan publiklah yang lebih utama ketimbang fasilitas-fasilitas politiknya (partai, pengadilan, birokrasi).  Di dalam Republik-lah manusia menyelenggarakan dirinya sebagai " zoon politicon ", merundingkan kepentingan bersama, memutuskan keadilan dan mendistribusikan kebutuhan dasar. Proses ini mengandaikan kebebasan dan kesetaraan.


Itulah sifat publik dari politik. Dengan kata lain, intervensi nilai-nilai personal ke dalam ruang publik tidak boleh terjadi. Nilai personal, pandangan moral komunal, harus dikonversi ke dalam tata bahasa politik publik bila ingin diajukan sebagai proposal publik. Artinya, keterbukaan dan kesetaraan di dalam Republik hanya mengandalkan diskursus rasio publik. Dan sifat diskursus itu adalah falibilis, bukan absolutis.
Kemajemukan dan "suasana Republik", sesungguhnya telah kita miliki jauh sebelum Proklamasi diucapkan. Sumpah Pemuda adalah sumber enersi kemajemukan yang sesungguhnya. Pikiran politik di tahun 1928 itu menyadari sepenuhnya kondisi ideologis bangsa ini, kondisi yang potensial bagi konflik horisontal, dan karena itu para pemuda hanya bersepakat untuk tiga hal: satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Sumpah Pemuda tidak bersepakat demi soal-soal akhirat, tetapi demi urusan antar manusia di bumi, manusia yang beragam. Mereka bersumpah untuk sesuatu "yang sosiologis" (tanah, bangsa dan bahasa), karena paham bahwa "yang teologis" tidak mungkin dijadikan tali pengikat politik. Politik 1928, tidak terobsesi pada "sumpah keempat": beragama satu. Kecerdasan itulah yang sesungguhnya hilang dari percakapan politik kita hari-hari ini. Sumpah Pemuda kini hanya diingat dalam tema "kebangsaan" yang bahkan disempitkan menjadi "keberagaman dan keberagamaan" (dan karena itu perayaannya cuma diisi oleh petuah dan pesan-pesan agamis). Padahal moral dan filsafat politiknya telah mendahului menyelesaikan pertikaian politik agama dalam penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Argumen ini harus kita ajukan untuk memastikan bahwa sumber kebudayaan modern dari ide republikanisme, sudah disediakan 17 tahun sebelum republik diproklamasikan. Artinya, ide republikanisme sudah dipelihara oleh "masyarakat sipil", jauh sebelum diformalkan oleh "masyarakat politik" melalui konstitusi 1945. Bahkan obsesi untuk memberi warna "agamis" pada penyelenggaraan negara (melalui debat panjang di Konstituante), juga dibatalkan oleh kecerdasan kebangsaan modern, yaitu bahwa di dalam Republik, rakyatlah yang berdaulat, bukan Tuhan atau Raja. Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan itu: "Negara berdasarkan Kedaulatan Rakyat" . 
Ide Kedaulatan Rakyat ini memberi kita batas yang tegas tentang wilayah politik. Yaitu bahwa politik adalah transaksi sekuler dengan ukuran-ukuran rasional, empiris, dan historis. Bahwa bahasa politik adalah bahasa yang dapat diperlihatkan konsekwensinya "di sini dan sekarang", bukan "nanti dan di sana". Bahwa ukuran-ukuran moral harus tumbuh dari pertarungan gagasan-gagasan historis, bukan dari doktrin-doktrin metafisis. Bahwa warga negara hanya terikat pada ayat-ayat konstitusi, dan bukan pada ayat-ayat suci. Bahwa fakta adanya golongan mayoritas (dalam agama misalnya), hanyalah petunjuk demografis, yaitu untuk keperluan administrasi kependudukan dan bukan untuk  keunggulan kedudukan suatu kelompok terhadap yang lain. Di dalam demokrasi, identitas individu (agama, kelamin, pekerjaan), hanya dicatat sebagai data statistik, dan bukan alasan pembedaan warganegara. 
Sangatlah berbahaya bila seseorang didefinisikan sebagai minoritas dalam agama atau preferensi seksual misalnya,  karena sekaligus ia akan menjadi warganegara kelas dua. Diskriminasi inilah yang harus kita perangi, karena ia menyebabkan permusuhan sosial atas alasan-alasan irasional. Misalnya, apakah karena seseorang tidak beragama, maka ia akan dikucilkan dan dilecehkan, atau bahkan dianiaya? Di dalam demokrasi, agama adalah hak. Artinya, ia boleh dipakai, boleh tidak. Negara tidak berhak memaksakan kewajiban beragama, karena hal itu melanggar kebebasan hati nurani. Agama adalah wilayah hati nurani. Kesucian keyakinan dan kejujuran ketakwaan seseorang hanya menjadi rahasia antara dia dan Tuhannya. Kemuliaan itulah yang harus dipisahkan dari kehidupan politik sehari-hari, karena di dalam demokrasi kita tidak mungkin menghakimi seseorang berdasarkan ukuran moral orang lain.  Sejauh preferensi moral dan religi seseorang tidak diterjemahkan menjadi tindakan kriminal, maka negara harus bertindak imparsial didalam melayani hak-hak sipil dan politiknya. Atas dasar itulah negara berkewajiban mengedarkan etika publik, yaitu pendidikan kewarganegaraan yang membiasakan warganegara hidup dalam politik kemajemukan.


Kedaulatan Rakyat berarti bahwa keputusan politik dipertengkarkan atas kebutuhan keadilan dan kesetaraan sosial warganegara, dan bukan atas ukuran-ukuran hirarki kesolehan dan kesucian sebuah umat. Asumsi kedaulatan rakyat adalah bahwa semua orang setara dalam kecerdasan dan kebebasan, dan karena itu keputusan politik harus diambil dalam ruang antisipasi kesalahan, dan bukan dalam ruang kebenaran doktrinal.
Di dalam republik, "kebenaran" disirkulasikan dengan pikiran, dan bukan dengan keyakinan. Itulah sebabnya "kebenaran" dapat dibatalkan dengan argumen, dan bukan dipertahankan dengan kekerasan. Spekulasi epistemologis bahwa "kebenaran" itu harus satu, dan karena itu politik harus menjadi absolut, pernah membawa politik kita ke dalam sistem otoriterisme. Dan bila sekarang "kebenaran" itu hendak dipaksakan kembali atas dasar spekulasi teologis, maka kita sungguh-sungguh sedang mengumpankan diri pada otoriterisme teokratis. Inilah cara pandang monolitik yang kini semakin meluas dalam kehidupan politik kita akhir-akhir ini, suatu paradoks di dalam sistem demokrasi yang kita pilih. 
Cara pandang politik semacam itu sesungguhnya berakar di dalam antropologi komunalisme yang kian tumbuh justeru dalam kondisi globalisasi. Komunalisme adalah alam pikiran konservatif yang memandang individu sebagai subyek tanpa eksistensi, yang identitasnya tergantung pada identitas komunitas. Komunalisme hendak menetapkan bahwa di luar komunitas, tidak ada identitas. Tetapi hal yang paling konservatif  dari alam pikiran ini adalah keyakinan bahwa keutuhan komunitas memerlukan pengaturan doktrinal. Konsekwensinya adalah: tidak boleh ada pikiran bebas individu. Pandangan kebudayaan inilah yang kini sedang diedarkan melalui bawah-sadar politik rakyat oleh partai-partai berbasis agama, yang mengeksklusifkan kehidupan publik mengikuti parameter-parameter komunal. Secara kongkrit, pandangan itu berwujud dalam perda-perda agama. 
Secara gradual kita merasakan infiltrasi pikiran itu dalam berbagai aturan publik dengan memanfaatkan fasilitas demokrasi, yaitu kekuasaan parlemen membuat undang-undang. Politik adalah upaya menguasai ruang publik. Demokrasi memang toleran terhadap kontestasi pikiran.  Tetapi politik komunalisme hendak menutup ruang publik itu dengan suatu diktum ontologi absolutis: hanya boleh ada satu Ada, dan karena itu, ada yang lain tidak boleh ada!
Dalam versi sekulernya, pandangan komunalisme ini pernah memayungi praktek penyelenggaraan konstitusi kita, yaitu melalui doktrin "negara integralistik", suatu pandangan feodalistik yang dijalankan dengan dukungan militer di masa Orde Baru, dalam konspirasinya dengan kekuatan kapital. Praktek politik ini hanya mungkin berlangsung karena akar-akar budaya feodal itu memang ada di dalam masyarakat kita. 
Tetapi bentuk komunalisme hari-hari ini adalah suatu sikap eksklusivisme religius yang memanfaatkan keterbukaan demokrasi, sambil mengeksploitasi simbol-simbol agama yang memang kuat tertanam dalam antropologi politik bangsa ini. Anda mungkin terkejut mendengar seorang murid SD menunjukkan jalan kepada sopir taksi, sambil mengingatkan: "itu rumah orang kafir lho!"  Dalam kasus semacam ini, kita tahu ada problem serius tentang kewarganegaraan, kemajemukan, dan pikiran terbuka. Ada problem serius tentang kehidupan di sekolah-sekolah, di dalam kurikulum dan organisasi-organisasi masyarakat. Acuan konsep-konsep publik yang seharusnya menimbulkan toleransi horisontal, telah diajarkan justeru dengan doktrinasi diskriminatif pada generasi yang baru tumbuh.
Politik kita hari-hari ini sedang menjalankan "crypto-politics". Elit  menunggangi kebodohan dan kepatuhan komunal, untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan. Sekarang ini, memimpin atau sekedar menjadi bagian dari suatu komunitas religius merupakan kebutuhan politis elit untuk mencapai status-status publik. Kesolehan menjadi simbol kewarganegaraan. Tatakrama menjadi pembatas kritisisme. Diskursus demokrasi menjadi tempat nyaman untuk mengorganisir kekuasaan dengan memanfaatkan peralatan agama. Simbol-simbol privat kini merajai kehidupan publik.

Mayoritarianisme mendikte paham kedaulatan rakyat. Bahkan Mahkamah Konstitusi bersikap sangat adaptif terhadap logika "mayoritarianisme" itu, dengan menerima argumen-argumen privat dalam memutuskan urusan publik. 
Benar bahwa sistem demokrasi membuka ruang kebebasan bagi berbagai aspirasi. Tetapi apakah aspirasi kebencian, misoginis, intoleran dan bahkan kriminal harus dinilai sama dengan aspirasi keadilan, otonomi tubuh, dan kebebasan berpendapat?
Di dalam demokrasi, realitas selalu berarti "realitas sosial". Yaitu kondisi kehidupan yang selalu memungkinkan kebenaran dikoreksi melalui bahasa manusia. Dan koreksi itu adalah pekerjaan duniawi yang harus terus diaktifkan, karena apa yang ada di akhirat tidak mungkin dikoreksi. Inilah realitas yang harus disimulasikan terus menerus, untuk menggantikan psikologi obsesif yang menghendaki pemenuhan kebenaran akhirat di Republik manusia. 
Ide Republik memberi kita pelajaran moral yang sangat mendasar, yaitu etika publik harus menjadi satu-satunya ikatan kultural di antara warganegara. Etika publik adalah hasil negosiasi keadilan, didalam upaya memelihara kehidupan bersama berdasarkan apa yang bisa didistribusikan di dunia, dan bukan apa yang akan diperoleh di akhirat.
Misalnya, obsesi untuk menyempurnakan keadilan harus kita hasilkan melalui sistem pajak, karena melalui pajaklah relasi warga negara disetarakan.  Karena itu, sangatlah janggal bila pajak saudara untuk keadilan sosial di bumi, digunakan negara mensubsidi mereka yang ingin masuk surga. 

III.    DAN  KITA  ADALAH “ WARGANEGARA  DUNIA  “


Soal yang juga terus menimbulkan kemenduaan mental politik kita hari-hari ini adalah masalah globalisasi. Ketakutan untuk masuk dalam percakapan politik global telah menghasilkan reaksi atavistik yang memalukan. Kita menyembunyikan kegagapan kebudayaan kita dengan cara menyulut api nasionalisme, seolah-olah asap tebalnya dapat menghalangi tatapan dunia terhadap praktek politik koruptif dan mental feodal bangsa ini. Nasionalisme menjadi semacam "mantra penangkal bala" setiap kali kita membaca laporan-laporan dunia tentang index korupsi kita yang masih tinggi. Nasionalisme kita pasang sebagai tameng setiap kali diperlukan evaluasi hak asasi manusia dan kebebasan pers oleh masyarakat internasional. Kita tidak memberi isi nasionalisme itu sebagai ide yang dinamis, "in-the-making", tetapi kita menyimpannya sebagai benda mati dan memperlakukannya sebagai jimat politik.
Nasionalisme adalah identitas publik yang seharusnya kita olah dengan akal untuk ditampilkan sebagai modal diplomasi politik dan ekonomi. Nasionalisme masa kini ada pada keunggulan "national brand", dan bukan ditampilkan sebagai psikosis pasca-kolonial. 
Dan khusus menyangkut isu neoliberalisme, reaksi kita bahkan nyaris mistik. Kita memakai tameng-tameng tradisi untuk memusuhi suatu alam pikiran yang tidak pernah berwujud di belahan bumi manapun.  Kita mengorganisir kemarahan publik untuk memusuhi  sesuatu yang adanya hanya di buku-buku filsafat. Tetapi seandainya pun perlawanan itu harus diberikan,  kita justeru menolak mengajukan marxisme sebagai lawan filosofi yang sepadan, dan malah menyiapkan ayat-ayat agama sebagai kontra moral baginya. Agaknya, hanya di negeri ini dua ideologi yang bermusuhan, kita musuhi sekaligus.  Kita menolak dua-duanya dengan akibat kita tidak pernah paham logika sesungguhnya dari susunan-susunan pikiran itu. Karena itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu "neolib"  terasa lebih sebagai hasil refleks psikologi poskolonial yang dangkal ketimbang hasil refleksi intelektual yang dalam.  Akibatnya, slogan neoliberal menjadi stempel politik baru bagi siapa saja yang dianggap mengedarkan kebebasan individu atau mengucapkan dalil-dalil ekonomi pasar.

Kita tidak merasa perlu untuk mendalami filsafat itu karena kita lebih mengandalkan emosi yang panas ketimbang analisa yang dingin. Politik stigmatisasi semacam ini tidak mendidik rakyat untuk mengucapkan argumen, karena memang hanya dimaksudkan untuk meneriakkan sentimen.
Di sinilah kita perlu kembali pada akal sehat, yaitu memeriksa konsekwensi politik dari suatu debat palsu tentang ideologi ekonomi. Pada tingkat kebijakan, urgensi untuk memenuhi kebutuhan rakyat tidak lagi diukur berdasarkan sistem-sistem abstrak ideologi, melainkan oleh tuntutan keadilan di dalam politik distribusi. Pemerintah yang korup, di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikian juga, pasar yang efisien tidak dirancang dengan variabel nepotisme di dalamnya. Jadi, mendahului berbagai perselisihan ideologi, kita harus memastikan bahwa korupsi dan arogansi politik tidak boleh dipelihara dalam sistem politik kita. Dari sana, baru kita dapat menyusun kombinasi paling rasional antara peran pasar dan negara dalam melayani warganegara. 
Obsesi kita tentang "ke-Indonesia-an" hari-hari ini, tidak cukup lagi merujuk pada dokumen-dokumen historis di masa lalu (Sumpah Pemuda, Proklamasi, dll), tetapi kita perlu memperluasnya pada kebutuhan politik masakini untuk mewadahi "kemajemukan baru", yaitu kemajemukan yang timbul oleh percakapan kebudayaan dan teknologi global.  Percakapan kebudayaan itu lebih sering berlangsung di dalam ruang maya, dan nampaknya demokratisasi pikiran dan ide lebih dihargai di dalam kondisi digitalnya, ketimbang dalam pergaulan sosial nyata. 
Perkembangan "ruang politik digital" itu, menandai suatu transisi peradaban politik baru. Imajinasi misalnya, akan meloloskan diri dari sensor institusi-institusi formal negara, dan karena itu, ukuran-ukuran moral lama sesungguhnya sudah memasuki masa kadaluwarsa. Kini,  sangat mungkin juga orang mendirikan rumah-rumah ibadah digital, bukan sekedar untuk menghindar dari lemparan batu kaum fundamentalis, tapi untuk sungguh-sungguh memberi tahu mereka bahwa surga juga dapat dibayangkan secara teknologis, dan diselenggarakan secara ekonomis. 
Tetapi politik adalah penyelenggaraan keadilan di dalam ruang sosial nyata. Ruang digital tidak boleh berubah menjadi tempat mencari suaka. Ruang digital hanya boleh menjadi ruang konsolidasi subversif,  untuk membebaskan ruang sosial nyata dari hegemoni politik konservatif-fundamentalis. 
Sesungguhnya, sama seperti ruang demokrasi, ruang digital itu juga dimanfaatkan oleh politik fundamentalis untuk menimbun dan menyebar kebencian, intoleransi dan permusuhan. Jelas bahwa ruang digital hanyalah sarana operasi politik, sementara markasnya tetap berada di dalam ruang sosial nyata: di ruang rapat partai, di kelas-kelas sekolah, di rumah-rumah ibadah. 
Dalam konteks solidaritas global itu, kondisi kemanusiaan tidak mungkin lagi dipahami dalam definisi-definisi primordial. Kita tidak menjadi "manusia" hanya karena terikat pada kesamaan etnis dan keyakinan. Kita menjadi manusia karena kita terikat pada problem sosial yang sama, yaitu kemiskinan dan krisis energi global. Kita tidak mencari rasa aman pada aturan-aturan komunal, bila kita paham bahwa hukum hak asasi manusia telah menyelamatkan peradaban dari politik genosida di berbagai penjuru dunia. Kemanusiaan kita hari ini lebih diikat oleh kewajiban global untuk mengatasi bencana alam dan memberi perlindungan pada para pencari suaka. Kemanusiaan adalah solidaritas etis terhadap masalah masa kini, dan bukan perkelahian ideologis di jalan buntu.
Mengucapkan kemanusiaan sebagai "solidaritas etis" harus memungkinkan setiap orang keluar dari koordinat mentalitas komunalnya. Pertemuan di dalam ruang politik adalah pertemuan untuk mempercakapkan kemungkinan-kemungkinan sosiologis, dan bukan kepastian-kepastian teologis. Menerima politik sebagai "ruang antagonisme", berarti memahami peluang untuk suatu konfrontasi etis demi alasan-alasan keadilan. Karena itu politik mengandaikan resipkrokasi percakapan, dan itu berarti wacana publik hanya dapat diselenggarakan bila keadilan dikonsepsikan secara sekuler.


Anda tentu tidak membayar pajak untuk memperoleh "pahala akhirat", melainkan untuk menjamin keadilan di bumi. Artinya, solidaritas etis harus dapat diukurkan langsung pada kesosialan manusia hari ini, agar kita tidak menunda keadilan sampai tibanya hari kiamat.
Tentu saja kita masih masih perlu memandang diri sendiri melalui cermin-cermin identitas yang dipasang mengelilingi hidup komunal kita.  Cermin-cermin itu seperti memberi rasa aman primitif kepada identitas seseorang. Kita bahkan perlu menggosok cermin itu agar kilaunya menimbulkan rasa unggul primitif pada kelompok. Tetapi sekali kita melangkah ke luar rumah, narsisisme itu tidak lagi banyak gunanya. Di dunia nyata, yang kita temukan adalah berbagai masalah sosial yang tidak mungkin sekedar diatasi dengan doa, sesajen dan mantra. Politik kelas tidak dapat ditunggu penyelesaiannya di akhirat. Demikian juga kerusakan lingkungan tidak dapat  ditangkal oleh komat-kamit sejumlah dukun. Kesetaraan gender, bahkan menuntut cermin-cermin itu dipecahkan! 
So, do you speak Pluralism? Do you speak Environmentalism? Feminism?, Queer? Kita sedang berbicara tentang "politics of recognition". Dan itu berarti pemihakan pada mereka yang tersisih oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan, kapital dan kebudayaan. Dasar etis dari "politik pengakuan" ini adalah bahwa suatu kelompok yang tersisih hanya karena kedudukannya yang "minoritas" dalam masyarakat politik, harus memperoleh perlindungan istimewa dari negara. Itulah alasan misalnya bagi pengakuan atas hak "affirmative action" bagi politik perempuan. Itu juga alasannya keperluan kita membela hak-hak "queer", karena orientasi seksual adalah kondisi yang sangat individual. Negara tidak dapat diperalat untuk menjalankan moral mayoritas.
Didalam diktum yang paling keras, negara justeru diadakan untuk melindungi kelompok minoritas. Sebaliknya, kelompok mayoritas yang masih menuntut pengakuan, adalah kelompok yang sebetulnya bermental minoritas.

IV.   DI  REPUBLIC  OF  HOPE 

Kita menyelenggarakan Republik bukan karena keunggulan teoretis dari konsep itu. Kita menyelenggarakan Republik juga bukan karena asal-usul kebudayaannya. Kita memilih Republik karena hanya sistem itu  yang mampu memelihara kemajemukan kita. Kita menyebutnya Republik Indonesia, tanpa predikat tambahan, karena hanya itu bentuk maksimal dari persaudaraan warganegara. Indonesia hanya bersatu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Kita tidak ingin bersatu dalam urusan agama, tatakrama dan busana. Kita menyelenggarakan Republik agar kita bisa berselisih dalam soal-soal dunia, dan bukan bertengkar untuk soal-soal akhirat.
Sesungguhnya, negara ini tidak berlokasi di dalam situs-situs purbakala. Dengan mengucapkan proklamasi kemerdekaan, kita sekaligus memutuskan untuk bergaul dalam peradaban dunia modern yang dinamis. Dalam pergaulan global itulah kita melatih akal sehat kita, agar kita tidak cuma sanggup mencerca tanpa arah, atau marah ke segala arah. Reaksi-reaksi primitif itu hanya akan menguras enersi mental kita, untuk akhirnya menyerah pada kecepatan pikiran dunia.
Di situlah suatu bangsa memerlukan kepemimpinan politik visioner. Kepemimpinan yang cerdas, yang mampu membangkitkan imajinasi rakyat. Kecanduan pada kekuasaan adalah hal yang biasa bagi seorang pemimpin. Tetapi kecanduan yang tidak menimbulkan imajinasi pada rakyat, adalah kecanduan seorang pemimpin medioker. Kekuasaan memerlukan kecerdasan agar arah peradaban bangsa dapat dibayangkan dalam suatu psikologi harapan. Tetapi kesempatan untuk memperoleh psikologi itu kini tidak lagi tersedia, karena dari kepemimpinan serba-tanggung tidak mungkin terbit gagasan serba agung.  Bangsa ini sekarang kehilangan imajinasi tentang sebuah Republic of Hope, dan kekosongan itulah yang kini diisi oleh para ahli akhirat.


Pepatah Itali mengingatkan: " Bila akal sehat tertidur, maka para monsterlah yang menguasai malam ". Kepemimpinan yang gagal mengaktifkan akal sehat, bertanggung jawab terhadap  munculnya Republic of Fear. Ekonomi dapat bertumbuh tanpa kebijakan pemerintah, tetapi keamanan warganegara dan keadilan sosial menghendaki pemihakan negara. Tanpa pemihakan itu, Republic of Fear akan tumbuh melampaui Republic of Hope.

Kita memelihara Republik, karena hanya dalam ruang politik itulah pikiran individu memperoleh kesempatan untuk diperiksa secara publik. Pikiran yang tidak dapat diperiksa di depan publik, adalah pikiran yang membahayakan Republik. Kita memelihara Republik karena kita ingin hidup dalam kesetaraan, kemajemukan dan keadilan. Marilah merawat Republik dengan akal sehat, agar para monster tidak menguasai malam, agar kita dapat nyenyak sepanjang malam. Karena besok, ada tugas menanti di Republic of Hope.



*** ♥♥♥ ***