Minggu, 21 Agustus 2011

BERLOMBA MENAWARKAN CALON PRESIDEN. ( Oleh : Ikrar Nusa Bhakti * )

Pemilihan umum masih tiga tahun lagi, namun partai-partai politik sudah mulai mengelus-elus siapa yang akan mereka jagokan. Partai Golkar misalnya sudah mulai menawarkan nama ketua umum,Aburizal Bakrie, sebagai bakal calon presiden yang diusung partai berlambang beringin itu. Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ), meski belum secara resmi mengumumkan siapa bakal calon presiden, ada kadernya yang sudah menyebut Menkopolhukam Marsekal TNI ( Purn ) Djoko Suyanto sebagai bakal calon yang diusung PKS. Ada Hatta Rajasa yang akan didukung Partai Amanat Nasional, Wiranto yang didukung Hanura, Prabowo Subianto yang didukung Gerindra,atau Puan Maharani yang didukung oleh PDIP. Nama lain yang juga sering disebut ialah Ketua Mahkamah Konstitusi Moh Mahfud MD sebagai bakal calon presiden yang cukup memiliki prospek.  Sampai saat ini belum ada partai yang secara resmi mendukung Mahfud MD. Namun, bukan mustahil ia akan disandingkan oleh Partai Demokrat dengan Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo yang kini Kepala Staf TNI AD. Sampai kini belum juga tertutup kemungkinan Partai Demokrat akan mengusung Ibu Negara Kristiani Yudhoyono sebagai bakal calon presiden walaupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara tegas telah mengenyampingkan kemungkinan tersebut. Bisa saja PDIP dan Partai Demokrat melakukan ” rekonsiliasi politik” dengan menyandingkan Pramono Edhie Wibowo dan Puan Maharani sebagai capres dan cawapres, atau dua besan saling bersanding secara politik yaitu antara Hatta Rajasa dan Kristiani Yudhoyono.   

Di luar nama-nama itu, ada satu nama yang kini semakin berkibar, yakni mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang diusung oleh kelompok intelektual yang baru saja mendaftarkan partainya, Partai Serikat Rakyat Independen ( Partai SRI ). Banyak kalangan yang belum apa-apa sudah memandang remeh kemungkinan pencalonan Sri Mulyani yang biasa dipanggil Ani. Pasalnya, Partai SRI masih berjuang untuk lolos kualifikasi sebagai partai politik. Selain itu, Sri Mulyani juga masih belum terbebas dari kasus bailout Bank Century. Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) sendiri hingga kini masih dalam posisi bahwa tidak ada tanda-tanda kriminalitas yang dilakukan baik oleh mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono maupun mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Semua calon presiden tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing.Sebagian besar kelompok menengah ke atas di Indonesia juga sudah mengetahui rekam jejak para bakal calon presiden tersebut. Pembentukan partai baru, semisal Partai SRI, Partai Nasional Demokrat, atau lainnya, memang bukan sesuatu yang baru di republik ini.   

Orang sering mempertanyakan mengapa masih ada orang membikin partai di tengah semakin rendahnya citra partai politik di mata masyarakat. Orang juga sering mencemooh bahwa partai-partai baru itu hanyalah mainan para politisi lama yang berpindah dari partai lain atau gagal di partai sebelumnya.   

Namun, dalam kasus Partai SRI tampaknya agak berbeda. Partai ini didirikan oleh gabungan dari kalangan intelektual kampus, praktisi hukum, pemilik media, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang resah dengan situasi politik di negeri ini. Mereka memang kelompok elite yang masih memiliki keinginan untuk membangun negeri ini.  Jika dilihat dari latar belakang mereka, dari segi ekonomi, para pendiri Partai SRI sebagian besar adalah kelompok masyarakat yang sudah mapan dan bukan orang yang akan mencari makan dengan mendirikan partai. Seperti dikatakan anggota Dewan Pertimbangan Partai SRI, Arbi Sanit, rekrutmen calon pengurus partai pada tingkat pusat dan daerah benar-benar dilakukan secara ketat. Sebagian besar pendiri atau pendukung Partai SRI adalah kalangan pengajar di Universitas Indonesia atau alumninya. Mereka berasal dari kelompok ideologi yang beragam, ada yang sosialis kanan ( soska ) atau garis Partai Sosialis Indonesia ( PSI ) Sutan Syahrir, ada yang liberal demokrat, ada pula yang Soekarnois. Makanya agak sulit jika mereka semua dikatakan sebagai golongan neoliberal ( neolib ). 

Sri Mulyani yang mereka dukung sebagai bakal calon presiden juga sulit dikatakan sebagai neolib murni,karena dalam pemikirannya juga tersimpul pemikiran mengenai pentingnya negara dalam mengatur ekonomi nasional. Sri juga berasal dari kalangan keluarga yang secara ideologis juga dekat dengan nasionalismenya Bung Karno, khususnya PNI.

Isu yang berkembang untuk mendiskreditkan Sri Mulyani bukan saja terkait dengan soal Bank Century atau segala yang terkait dengan pajak, melainkan juga bahwa ia akan menjadi kaki tangan Amerika Serikat ( AS ). Pesan singkat yang beredar melalui ponsel antara lain menyatakan sesuatu yang absurd antara lain Sri Mulyani akan didukung AS dan ada dealdeal politiknya jika ia terpilih. Padahal, Sri Mulyani pastinya akan memiliki ketegasan untuk mengatakan tidak kepada AS karena dia bukan pengusaha dan bukan orang yang posisinya bergantung negara itu.  Bahkan bukan mustahil ia akan lebih berani daripada Jenderal Besar Soeharto dan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk tidak mau didikte oleh AS dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.   Pemahamannya di bidang moneter sebagai mantan direktur kawasan Asia-Pasifik di International Monetary Fund ( IMF ) dan kini sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia tentu membuatnya tahu persis bagaimana menentukan posisi Indonesia vis-à-vis IMF dan Bank Dunia.   

Sri tentunya juga tidak akan munafik untuk mengatakan apakah IMF atau Bank Dunia diperlukan atau tidak oleh Indonesia, seperti elite politik yang selalu menyatakan anti-IMF padahal ketika ia menjadi menteri dulu ia pernah meminta bantuan IMF untuk Indonesia.    Seperti kebanyakan kalangan intelektual, tentunya ada titik lemah, tapi sekaligus kekuatan Sri Mulyani. Misalnya, seorang intelektual karena otoritas keilmuannya biasanya memiliki kesombongan intelektual dan merasa lebih tahu ketimbang orang lain. Intelektual juga selalu berpikir dan bertindak lurus sesuai etika keilmuannya.   Ini berbeda dengan kalangan politisi yang bisa berzig-zag dalam pikiran dan tindakan politiknya.

Jika kita membaca tulisan Sri Mulyani mengenai transisi politik dan ekonomi di Indonesia, tampak jelas dia adalah bakal calon presiden yang paling memiliki keduanya, yaitu kemampuan akademik sebagai seorang intelektual kampus dan pengalamannya di pemerintahan. Sri juga bukan futurolog yang suka tebar pesona dan bicara mengenai masa depan ekonomi Indonesia, tapi tidak berpijak di bumi seperti penguasa Indonesia saat ini. Artikel Sri Mulyani paling akhir yang dimuat media massa dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa ia bukan seorang ekonom yang menggunakan kacamata kuda, melainkan seorang ekonom yang juga tahu mengenai situasi politik internasional kini dan masa depan. Pastinya akan banyak kalangan yang ingin menghadang Sri Mulyani.  Semua terpulang pada apakah para pemilih Indonesia pada 2014 mendatang benar-benar semakin dewasa dalam memilih sehingga tidak salah dalam memilih presiden ataukah politik uang dan manipulasi pencitraan politik akan mengalahkan akal sehat pemilih.  

 *) IKRAR NUSA BHAKTI Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI. Sumber: Harian Seputar Indonesia, Tuesday, 09 August 2011. Link: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/419343/ See More


*** ___ ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar